Perut Vs Energi ( Oleh Difa Kusumadiani )

Diperkirakan di masa yang akan datang akan terjadi perebutan kepentingan antara perut dan energi. Lahan yang digunakan untuk konsumsi akan digantikan oleh lahan yang digunakan untuk kebutuhan energi, khususnya bioetanol. Kecenderungan itu sudah dapat kita lihat sekarang ketika kedelai “collaps” karena Indonesia mengambil kebijakan impor kedelai. Permasalahan yang terjadi hingga menyebabkan kelangkaan kedelai ini adalah karena negara pengekspor kedelai ke Indonesia telah mengganti lahan untuk penanaman kedelainya dengan lahan untuk bahan baku bioetanol.

Sebagai contoh, Amerika Serikat merupakan produsen kedelai utama di dunia. Selain itu, Amerika juga produsen jagung utama. Brasil dan Cina juga tidak ketinggalan. Brasil merupakan produsen utama gula berbasis tebu, dan Cina memiliki produksi jagung yang besar sekaligus konsumen utama jagung dunia yang juga digunakan untuk pakan unggas.

Sejak tahun 2005, ketiga negara tersebut mengganti struktur konsumsi komoditas pangan berbasis biji-bijian karena dipicu oleh kenaikan harga minyak mentah dunia. Ketiga negara tersebut membuat kebijakan tentang pengembangan bahan bakar nabati berbasis biji-bijian seperti jagung. Pengalihan itu tidak lain untuk memenuhi kebutuhan pengalihan konsumsi energi bahan bakar minyak ke bahan bakar nabati dalam bentuk etanol. Begitu juga dengan Cina yang meningkatkan produksi jagung mereka untuk keperluah bahan bakar minyak dan Brasil yang mengutamakan pasokan tebu untuk mengembangkan etanol daripada untuk produksi gula

Akibatnya produksi kedelai Amerika mengalami penurun yang mengakibatkan turunnya pasokan kedelai. Dampaknya langusng dpat dirasakan oleh negara yang tidak mempersiapkan penurunan ini, seperti Indonesia. Tidak seperti negara-negara lain yang sudah mempersiapkan perubahan struktur pangan Amerika ini. Di Indonesia, kedelai banyak digunakan sebagai bahan pokok pembuatan tahu dan tempe yang merupakan salah satu menu yang banyak dikonsumsi masyarakat.

Ketika negara-negara dunia sibuk mempersiapkan pengembangan energi alternatif dan mengamankan produk pangan berbasis biji-bijian, Indonesia malah terjebak dalam kebijakan energi saja. Indonesia gagal menangkap sinyal di balik kenaikan harga BBM bagi ketahan pangan Indonesia. Tidak seperti negara lain yang mulai mempersiapkan kebutuhan energi alternatif dan memenuhi kebutuhan konsumsi, Indonesia lebih mementingkan kepentingan energi daripada perut rakyatnya sendiri. Sungguh ironi bagi sebuah negara agraris yang seharusnya tidak kekurangan untuk pengembangan keduanya