Habis Gelap Sudahkah Terang ?

img_6467_raw_woman_450.jpg

 

Eva Bachtiar TI’03

Whatever women do, they must do twice as well as men, to be thought half as good. Luckily, this is not difficult.” Charlotte Whitton

Tanggal 21 April datang lagi, Hari Kartini datang lagi. Gaungnya di kampus kita mungkin memang tidak lagi segempita saat kita semua masih SD, dimana semua anak-anak serempak menggunakan pakaian adat, kebaya, batik, dan sejenisnya. Waktu itu kita juga mungkin masih belum terlalu paham tentang apa sebenarnya yang diperjuangkan Kartini hingga kita semua secara khusus memperingati hari tersebut untuk mengenang beliau.

Hari Kartini dan Hari Perempuan

Selama ini terdapat banyak perdebatan tentang asal-usul hari Kartini itu sendiri. Kenapa hanya Kartini yang disebut-sebut sebagai pahlawan emansipasi wanita? Kenapa bukannya Cut Nyak Dien atau Dewi Sartika misalnya? Lalu kenapa juga harus diperingati sebagai Hari Kartini dan bukannya Hari Perempuan?

Bila kita menilik lebih jauh perjuangan yang dilakukan Kartini, maka kita akan menyadari bahwa Kartini memang sosok yang tepat untuk menyandang gelar tersebut. Tanpa bermaksud untuk mengecilkan jasa Cut Nyak Dien, Kristina Martha Tiahahu, dan Dewi Sartika, mereka memang pahlawan hebat di masanya masing-masing (bahkan Cut Nyak Dien tanpa ragu-ragu turut angkat senjata melawan penjajah), namun satu hal yang perlu diperhatikan adalah mereka tidak pernah bersuara lantang tentang nasib perempuan. Berbeda dengan Kartini yang -walau dikungkung tembok rumahnya dan berada dalam pingitan sekalipun, terus berpikir tentang kesetaraan dan nasib perempuan. Selain itu, hanya beliau yang hampir seluruh pemikirannya terdokumentasikan dengan baik, hingga dapat diteruskan pada generasi di bawahnya.

Orang bisa berkata bahwa yang dilakukan Kartini hanyalah menulis surat. Tapi, itu terjadi pada awal abad 20. Ia “hanya” orang Indonesia, “hanya” perempuan pula. Tapi ia bicara fasih dalam bahasa Belanda dan menyebarluaskan ide dan pandangannya tentang feminisme. Bayangkan, feminisme yang saat itu merupakan wacana yang belum familiar bahkan di Barat. Jadi tak salah lagi, Kartini adalah ikon perempuan yang berani bersuara.

Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang dikenal sebagai Hari Kartini. Lalu apa keistimewaan Kartini hingga di antara sekian banyak hari besar, hanya ia yang dijadikan nama hari? Jika dokumentasi karya adalah patokannya, perjuangan Bunda Theresa misalnya, tidak membuatnya mendapat kehormatan untuk mendapat Hari Theresa meskipun pikiran yang beliau cetuskan bahkan telah diakui oleh sebuah Nobel. Hari kelahiran Buddha, Yesus, Muhammad, Soekarno, juga tidak dijadikan ”Hari+Nama mereka” untuk memperingatinya, padahal mereka semua meninggalkan dokumentasi.

Terlepas dari inkonsistensi pemerintah dalam menetapkan hari besar, satu hal yang perlu kita sadari betul adalah Kartini membawa spirit dan perubahan yang monumental dalam konstruksi kehidupan kita saat ini, khususnya bagi perempuan. Pada sebuah karya fenomenal yang dihasilkan Kartini yaitu Habis Gelap Terbitlah Terang, tertulis surat-suratnya yang berisikan pemikiran tentang kondisi sosial saat itu, terutama kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya Jawa yang dipandangnya sebagai penghambat kemajuan perempuan. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Semangat Kartini, Saat Ini

Kini, hampir seabad kemudian, setelah memperingati 33 kali hari Kartini, sudahkan semua semangat dan cita-cita Kartini terealisasikan? Benarkah terang telah benar-benar datang mengusir gelap, atau apakah kita masih berada dalam daerah abu-abu yang terjebak di antara gelap dan terang?

Semangat Kartini di masa ini muncul dari sosok-sosok tangguh di berbagai bidang kehidupan. Megawati Sukarnoputri, seorang presiden perempuan telah turut menggores sejarah negara kita. Alexandra Asmasoebrata, seorang perempuan muda telah membuktikan kepiawaiannya sebagai pembalap. Melly Goeslaw, salah satu pencipta lagu dan penyanyi paling produktif di Indonesia. Butet Manurung, pendiri sekolah rimba dan aktivis pendidikan. Rosiana Silalahi, salah satu pemimpin redaksi program berita TV termuda di dunia. Sri Mulyani Indrawati, analis keuangan yang brilian. Obin, desainer yang memperkenalkan batik ke kalangan fashion mancanegara. Mereka semua adalah sedikit dari perempuan Indonesia yang telah mewarisi cita-cita Kartini dan dengan kapasitasnya masing-masing berhasil membuktikan eksistensinya sebagai perempuan yang setara dengan laki-laki dalam mengukir prestasi.

Tapi di sisi lain bumi Indonesia, kita masih dapat menjumpai adanya budaya patriarkis dominan yang memenjarai perempuan. Tentu kita masih ingat kasus Lisa, yang terpaksa harus menjalani operasi wajah total karena disiram air keras oleh suaminya. Atau banyaknya kasus pelecehan seksual, pandangan sebelah mata terhadap perempuan, serta lebih dihargainya masculine values dibanding feminine values. Hal ini masih diperparah oleh sosok perempuan yang digambarkan lewat media yang terus mereduksi gambaran perempuan, dan menghasilkan konstruksi gender yang justru semakin membuat posisi wanita terpuruk dalam patriarkisme.

Kartini dan Feminisme

Semangat luhur kesetaraan gender yang diperjuangkan oleh Kartini, yang kerap disebut feminisme itu sendiri ternyata mendapat banyak tentangan. Banyak yang beranggapan bahwa perempuan feminis adalah perempuan yang berusaha menentang kodratnya sendiri. Banyak juga yang menganggap feminisme sebagai sebuah turunan dari kapitalisme dan sekulerisme budaya barat, yang tidak sesuai untuk budaya orang timur.

Padahal, orang-orang yang berpikir demikian justru mereka yang tidak memahami apa sebenarnya yang diperjuangkan oleh gerakan feminis. Teori feminis modern bertolak dari beberapa pertanyaan sederhana ”Dan bagaimana dengan perempuan?”, ”Mengapa semuanya ini terjadi?”, ”Bagaimana kita dapat mengubah dan memperbaiki dunia sosial untuk membuatnya enjadi tempat yang lebih adil bagi perempuan dan bagi semua orang?”, serta ”Dan bagaimana dengan perbedaan di antara perempuan?” (Ritzer & Goodman, 2004).

Apa yang sebenarnya menjadi inti dari semua perjuangan Kartini, yang juga kita perjuangkan sebenarnya bukanlah apa yang orang kira selama ini. Perempuan tidak menuntut agar perempuan menjadi kepala keluarga. Bukan itu! Perempuan hanya menginginkan agar pria dan wanita, suami dan istri, mempunyai tingkat kedudukan yang sama di dalam keluarga, tidak ada yang lebih superior, dan bersama-sama saling mengisi. Sehingga tidak ada lagi tindak kekerasan, pelecehan, dan ketimpangan hak serta kewajiban dalam rumah tangga.

Perempuan tidak menuntut karier tinggi yang membuatnya merasa bebas dari tanggung jawab untuk mengasuh anak. Perempuan hanya menginginkan sebuah kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan mengeluarkan potensi. Perempuan menginginkan adanya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, memilih pekerjaan yang ia sukai (termasuk pekerjaan yang masih dipandang sebelah mata jika dikerjakan wanita, seperti supir bis, petinju, dan sebagainya). Dengan demikian tidak lagi ada anggapan bahwa wanita tidak pantas menjadi presiden, atau tidak pantas menjadi pembalap. Perempuan menginginkan akses yang sama pada segala hal, berdasarkan kapasitasnya masing-masing.

Pada hakikatnya, perempuan bukan ingin dipandang sama dengan lelaki tetapi ingin dipandang sebagai sebuah individu yang setara dengan lelaki, sebagai manusia. Ingat, bukan sama melainkan setara. Karena perempuan dan laki-laki memang telah dilahirkan berbeda, baik secara anatomi, maupun emosi, maka kesamaan adalah sesuatu yang mustahil diraih dalam sebuah kondisi dualitas. Tetapi kesetaraan merupakan hal yang absolut, yang akan terus diperjuangkan untuk menciptakan kehidupan yang egaliter.

Dengan demikian, sudah sepantasnya terima kasih yang dalam kita haturkan pada ibu kita Kartini. Tanpa perjuangannya, mungkin kita semua saat ini masih dianggap sebagai ’konco wingking’ yang tugasnya hanya berkutat di dapur, sumur dan kasur. { }